ini salah satu pemikranku tentang hukuman yang tepat buat koruptor,
lampost, 4 November 2008

Sanksi Sosial buat Koruptor

Wahyu Agung Putra Pamungkas

Mahasiswa Jurusan Ilmu Pemerintahan FISIP Unila

Dasar hukum hukuman mati buat koruptor sebenarnya amat jelas. Tertuang dalam UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Dalam undang-undang itu, ancaman hukuman mati hanya ditujukan pada pelaku tipikor yang melanggar Pasal 2 Ayat (1). Ayat (2) pasal itu menetapkan ancaman pidana mati hanya dijatuhkan jika negara dalam keadaan bahaya, terjadi bencana nasional, pengulangan tipikor atau saat negara dalam keadaan krisis ekonomi dan moneter.

Sedangkan dari sisi hukum internasional, hukuman mati diwajibkan dihapuskan dalam UU nasional masing-masing negara anggota PBB, termasuk Indonesia yang telah meratifikasi Konvensi Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (1966) dengan UU 12 Tahun 1995; hanya pada Pasal 6, convenant (perjanjian) itu masih dibolehkan dalam tiga keadaan. Pertama, hanya dapat diterapkan terhadap kejahatan yang serius (serious crimes). Kedua, tidak dapat diberlakukan secara retroaktif. Ketiga, harus atas dasar putusan pengadilan yang telah mendapat kekuatan hukum tetap.

Selain itu juga ada catatan tidak dapat diterapkan terhadap wanita yang sedang hamil dan anak di bawah usia 18 tahun. Jika pidana mati diterapkan, penerapannya harus mempertimbangkan hak seorang terdakwa pidana mati untuk mendapat pengampunan dan commutation (peringanan hukuman penjara) dengan pidana lain.

Dari dua landasan hukum itu, dapat dicermati bahwa hukuman mati bukan hukuman yang dilakukan dengan pertimbangan yang sedikit. Sedangkan jika dianalisis dari pendekatan semangat awal wacana hukuman mati bagi koruptor, yaitu menimbulkan efek jera, juga belum tentu efektif.

Hukuman mati bagi koruptor terbukti tidak efektif dan mampu mencegah serta memberantas korupsi seperti terjadi di China. Makin banyak koruptor di China ditembak mati di hadapan publik justru korupsi tidak makin berkurang.

Di Indonesia yang terpenting dalam pemberantasan korupsi bukan masalah ancaman pidana setinggi-tingginya, tetapi bagaimana memelihara dan mempertahankan agar pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan dijalankan konsisten. Tidak ada perlakuan berbeda berdasar pada status sosial dan ekonomi terpidana, termasuk sejak yang bersangkutan dalam masa penahanan sampai menjalani pidananya seperti adanya rumah tahanan dan LP layaknya hotel berbintang empat.

Pengawasan ekstraketat selama masa penahanan dan masa pelaksanaan pidana menjadi masalah penting di Indonesia untuk memberi efek jera dibanding dengan pidana mati yang masih diragukan efek jeranya.

Alternatif yang muncul kemudian adalah koruptor dihukum dengan sanksi sosial. Misalnya dengan menjadi tukang sapu jalan dengan memakai baju tahanan. Atau pekerjaan lain yang menyangkut wilayah publik. Tentu dengan pengawasan aparat terkait.

Yang pasti, sebelumnya koruptor harus mengembalikan semua uang yang telah terbukti dikorupsi. Jika sudah habis, sita kekayaannya sesuai dengan nilai yang ia korupsi. Lelang kemudian kembalikan ke kas negara. Hal ini tentu lebih menguntungkan negara. n

1 Response
  1. lia Says:

    ya, walaupun dihukum seberap apapun juga, kalo dari dalm dirinya gak nyadar-nyadar ya tetep aja mau korupsi...


silahkan beri masukan.
terimakasih.;)